Number 37

Namaku 37. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa namaku 37? Aku sendiri pun tak ingat sejak kapan namaku 37. Yang kuingat hanya sejak kecil , sejak aku mulai bisa berpikir, orangtuaku selalu berkata, “ Kau ini memang anak nakal dan tak bisa apa-apa. Selamanya kau hanya akan menjadi 37. Kau tak akan pernah bisa menjadi 100. Jangankan 100, 40 pun tak akan akan pernah bisa. Kenapa kau tidak bisa seperti sepupumu, si 73. Lihat, bahkan orangtuanya bangga karena punya anak seperti 73. Kau ini benar-benar kebalikannya!”.

Ketika aku mulai bersekolah, ternyata teman-temanku pun mengatakan hal yang sama. Mereka juga memanggilku 37. Dan saat itu aku baru menyadari kalau namaku ditentukan oleh orang-orang di sekitarku. Mereka yang menentukan namaku dan bagaimana aku harus dipanggil, mereka yang menentukan posisi dan jalan hidupku sebagai 37. Terkadang aku berusaha menjadi orang yang lebih baik, lebih pintar dan lebih berprestasi. Mungkin kalau aku berusaha lebih, mereka akan melihat kalau aku mirip dengan sepupuku,si 73. Mungkin mereka juga akan memanggilku 73 dan mungkin orangtuaku akan bangga padaku. Alas, ternyata mereka tetap memanggilku 37. Bahkan orangtuaku pun berkata,” Kau ini 37. Sejak lahir pun kau sudah 37. Jangan mimpi berlebihan. Terima saja nasibmu.” Dan begitulah hidupku dimulai dan berlanjut, dengan membiarkan orang-orang di sekitarku menentukan hidupku.

Tapi, aku tidak sendirian. Teman-temanku pun mempunyai namanya masing masing. Lihat si 92. Sebenarnya kami semua memanggilnya 22 di belakangnya, tapi dia suka marah kalau kami memanggil nama sebenarnya. Kemanapun dia pergi dan siapapun yang dia ajak bicara, dia selalu mengenalkan dirinya sebagai 92. Dengan sombong dia selalu bercerita kalau namanya 92. Kasihan sebenarnya karena dia tidak sadar kalau kami tertawa dan mencemooh di belakang punggungnya. Tentu saja kami tak pernah memanggil nama sebenarnya, 22, dengan terang-terangan. Dia akan marah dan menantang berkelahi siapapun yang berani memanggil nama aslinya. Karena itu biasanya kami hanya menjauhinya dan mentertawakannya dari jauh.

Dan lihat si 88, dia sedikit lebih beruntung dari si 92/22. Sebenarnya 88 juga bukan nama aslinya, itu nama ayahnya. Ayahnyalah yang sebenarnya bernama 88. Entah sejak kapan diapun menyebut dirinya 88 dan orang-orang di sekitarnya yang takut dengan ayahnya pun memanggilnya 88. Tak ada yang tahu siapa sebenarnya nama aslinya, dan mungkin dia sendiri pun tidak akan pernah tau. Tidak seperti si 92/22, tak ada orang yang mentertawakannya dan semua orang memanggilnya 88. Tapi, bagiku itu agak menyedihkan karena seumur hidupnya dia tidak akan pernah dipanggil dengan nama aslinya. Selamanya dia akan selalu dipanggil dengan nama ayahnya

Tapi mungkin yang palig aneh dari semuanya adalah si 13. Walaupun namanya paling jelek, tapi dia selalu tertawa kalau ada yang mengejeknya. Aku pernah bertanya padanya,

“ Apa kau tak keberatan kalau orang mengejek namamu?’

“ Tidak, aku tidak keberatan karena itu bukan namaku sebenarnya. Namaku sebenarnya adalah 100. Karena itu walaupun mereka mentertawakanku, aku tidak peduli.”

“ Bagaimana mungkin namamu 100? Siapa yang memanggilmu begitu?”

“ Kau tidak mengenal Orang yang memanggilku. Tapi Orang itu mengatakan kalau namaku sebenarnya adalah 100. Dan aku mempercayainya.”

“ Kenapa kau bisa percaya perkataan orang itu?”

“ Karena Orang itu mau mati untuk membuktikan kalau perkataannya bisa dipercaya. Dia mau mati untuk menunjukkan kalau namaku sebenarnya adalah 100 dan bukannya 13. Dan aku percaya padaNYA.”

“ Tapi kau tidak terlihat seperti orang yang bernama 100…”

“ Aku tahu, masih perlu waktu bagiku untuk menjadi 100. Seorang pematung terkenal pernah berkata kalau dia sebenarnya tidak membuat patung dari batu. Tapi sebenarnya di dalam batu itu sendiri sudah ada patung, yang dia lakukan hanya membuang bagian-bagian yang jelek dan tidak diperlukan untuk memunculkan patung yang sebenarnya sudah ada dari awal. Begitu juga ketika Orang itu memanggilku 100, Dia bukan hanya sekedar memanggil nama tapi dia juga memberikan nama 100 itu dalam diriku. Yang perlu aku lakukan adalah membuang bagian-bagian jelek dari diriku untuk memunculkan nilai 100 itu.”

Pendapat yang aneh, tapi aku bisa mngerti pendapatnya. Di duniaku, nama kami semua ditentukan oleh orang lain. Kalau orang lain memaggilku 37, jadilah namaku 37. Karena itu kami sangat takut akan perkataan orang lain dan kami selalu berusaha supaya orang lain memanggil kami denga nama yang lebih baik.Kami melakukan segala cara supaya orang lain menghargai kami. Sebagian dari kami membuat nama baru dan memaksa orang lain memanggil kami dengan nama itu, seperti 92/22. Dan sebagian lagi mungkin meminjam nama orang lain, seperti si 88. Tapi kebanyakan mungkin sepertiku, menerima begitu saja nama yang diberikan orang lain dan membiarkan nama itu menentukan arah hidup kami.

Tapi si 13 berbeda, dia tidak peduli dengan nama yang diberikan orang lain. Baginya, hanya nama pemberian Orang yang mati untuknya itu yang dia pegang. Dan dia percaya nama itu miliknya dan suatu hari nanti dia akan bisa memakai nama itu dengan bangga. Ketika kutanya apakah dia tidak peduli dengan perkataan orang lain, dia cuma tersenyum dan berkata kalau hanya ada 2 orang yang perkataannya dia pedulikan yaitu orang yang dia sayang dan orang yang dia hormati. Di luar itu, apakah mereka memanggilnya raja atau pengemis, dia tidak peduli. Mungkin dia terdengar gila, tapi setidaknya dia tidak membiarkan hidupnya diatur oleh perkataan orang lain. Dia tidak peduli perkataan orang lain karena nama 100 yang diberikan kepadanya itu lebih berharga daripada semua omongan orang lain.

Mungkin sebenarnya kamilah patung-patung yang bodoh. Kami mebiarkan orang lain memahat diri kami dan membentuk diri kami bukan seperti apa yang kami inginkan tapi seperti apa yang orang lain inginkan.Tapi si 13 memahat dirinya sendiri, dia tahu seperti apa bentuknya seharusnya dan yang dia lakukan hanya mebuang bagian-bagian yang tidak diinginkan. Sementara kami hanya bisa menerima nama yang tidak kami inginkan, dia membentuk namanya sendiri.

Namaku 37, ini bukan nama yang kuinginkan tapi ini nama yang diberikan orang lain untukku.


PS: Michaelangelo yang mengatakan kalau dia tidak membentuk patung, tapi patung itu sendiri sudah ada di dalam batu dan yang dia lakukan hanya membuang bagian-bagfian yang tidak perlu. Begitu juga dengan tukang bakmi, ketika melihat adonan tepung, yang dilihat tukang bakmi adalah bakmi di dalam adonan tepung itu. Tukang bakmi tidak membuat bakmi, yang dilakukan hanya memunculkan bakmi yang sebenarnya sudah ada di dalam adonan tepung itu.^^