Cara Menghadapi Pembantu ( dan Aborsi)

Ada pepatah lama di Cina yang berbunyi seperti ini,
" Orang yang paling sulit dihadapi adalah pembantu/bawahan. Jika kita berlaku terlalu keras, mereka akan menganggap kita majikan yang diktator otoriter. Jika kita berlaku terlalu lembut, mereka akan berlaku seenaknya "

Tentu saja pepatah ini bukan ditujukan untuk merendahkan derajat seorang pembantu karena sebenarnya setiap ibu tahu sulitnya mendisiplin anak dan setiap pimpinan tahu susahnya mendisiplin bawahan. Pepatah ini berbicara megenai susahnya menjaga keseimbangan yang stabil antara berlaku keras dan berlaku lembut. Kapan waktunya tegas dan kapan waktunya lembut, kapan harus menjadi singa dan kapan menjadi domba.

Seringnya, kita mengambil salah satu ekstrem dan menjadi sangat keras atau sangat lembut. Ada orangtua yang memukuli anaknya untuk setiap kesalahan kecil yang dilakukan , dan ada juga orangtua yang tidak mau mendisiplin anaknya dengan alasan takut anaknya sakit hati. Ada orang yang langsung mengangkat golok ketika melihat hal yang tidak disukainya dan ada juga yang tidak peduli atau tidak mau tahu. Ada yang menghakimi pendosa dengan sangat keras bahkan sampai siap membunuh, dan ada juga yang memilih untuk menerima dosa sebagai hal yang wajar.

Tanggal 29 Juli 1994, seorang pria menghampiri sebuah klinik aborsi di Pensacola, Florida. Dengan pistol di tangannya dia mendekati dokter klinik itu dan menembaknya dari jarak dekat. Pria ini juga menembak penjaga klinik dan kedua korbannya itu langsung meninggal. Pria ini lalu meletakkan senjatanya dan menunggu untuk ditangkap. Dia ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman mati. Dalam pernyataannya sebelum eksekusi, pria ini menyatakan dirinya tidak menyesal dan dia mengharapkan upah besar di sorga karena perbuatannya. Sounds familiar? Guess again!

Pria ini bernama Paul Jennings Hill dan sampai setahun sebelumnya dia masih melayani sebagai seorang pendeta di gereja Presbyterian. Dia diberhentikan dari jabatannya tahun 1993 karena berhubungan dengan Army of God, organisasi teroris Kristen yang menentang aborsi dengan jalan kekerasan.
Sebagai catatan, mayoritas gereja menentang jalan kekerasan untuk menghadapi aborsi. Saya hanya ingin menunjukkan ada orang-orang Kristen yang ketika menghadapi satu masalah, mereka ga akan ragu untuk memakai kekerasan.

Sebaliknya, ada kecenderungan yang meningkat di antara orang Kristen, paling tidak di negara maju, bahwa aborsi bukanlah masalah moral melainkan masalah pilihan pribadi seorang perempuan. Dengan kata lain aborsi bukanlah dosa melainkan hanya masalah pilihan saja. Gereja sendiri terpecah soal masalah aborsi, dari yang menolak sama sekali sampai menyetujui. Dari salah satu survey, ditemukan bahwa 2 dari 3 perempuan yang melakukan aborsi mengaku dirinya Kristen.
Ya, saya tahu survey mungkin saja tidak valid dan hanya karena seseorang mengaku dirinya Kristen bukan berarti dia mengenal Yesus. Sama seperti kasus sebelumnya, saya hanya ingin menunjukkan bahwa ada kecenderungan di antara orang Kristen yang menganggap aborsi bukanlah dosa.

Dan di sini kita menemukan 2 ekstrem, ekstrem yang terlalu keras sampe maen bunuh-bunuhan dan ekstrem yang sangat lembut sampai menerima sebuah dosa bukan sebagai dosa.

Ketika perempuan yang berzinah di bawa ke hadapan Yesus ( Yohanes 8), Yesus tidak melempari wanita itu dengan batu sampai mati. Tapi, Yesus juga tidak diam dan menyetujui. Ketika wanita itu akan pergi, Yesus berkata, " Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang". Yesus tidak mengatakan kalau perzinahan wanita itu adalah masalah pilihan, atau masalah psikologis karena kesepian dan cinta mati, atau masalah kebutuhan fisik dan hasrat seksual yang harus dipenuhi. Apa yang dilakukan wanita itu adalah dosa perzinahan, dan Yesus tidak ragu untuk menyatakan itu. Tapi, Yesus juga mengampuni wanita itu dan memberinya kesempatan bertobat.

Mengasihi tidaklah sama dengan menyetujui. Seorang ibu yang mengasihi anaknya tidak akan menyetujui anaknya yang masih 6 SD naek motor walaupun menurut anaknya itu hal yang keren. Tapi kalau anaknya bandel dan jatuh dari motor, bukan berarti ibu ini kemudian menolak anaknya dan bikin anak baru.
Kasih itu menerima, bukan menyetujui.

Sekelompok anak muda di Dallas harus menghadapi kenyataan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 1.2 juta bayi yang diaborsi di Amerika. Carolyn Cline berdoa untuk masalah ini dan Tuhan memberinya visi untuk menyelamatkan 1000 bayi di tahun 2012. Carolyn tidak tahu dengan cara apa dia bisa memenuhi visinya ini sampai dia bertemu David Pomerantz. David mengusulkan untuk mengumpulkan dana dan membeli sebuah bus kecil yang diperlengkapi dengan peralatan sonogram. Mereka memarkir bus ini di depan klinik aborsi dan mengundang setiap ibu muda yang ingin mengaborsi anaknya untuk masuk ke dalam bus dan menggunakan sonogram untuk melihat bayinya sebelum dia memutuskan untuk aborsi.

Rata-rata 30 orang wanita memenuhi ajakan ini setiap minggu dan 3 dari 5 perempuan yang memenuhi ajakan itu memutuskan untuk membatalkan aborsi dan melahirkan anaknya. Tentu saja, organisasi ini juga menawarkan doa dan konseling Kristen pada para ibu itu. Pelayanan yang dimulai oleh 4 anak muda ini bernama Save The Storks. Dalam bahasa Indonesia artinya Selamatkan Burung Bangau. Burung bangau dalam legenda barat adalah pembawa bayi yang akan lahir dari surga kepada orangtua mereka. Visi dari Save The Stork adalah mendorong para ibu untuk membatalkan niat mereka untuk aborsi dan mengabarkan kabar baik tentang Yesus.( http://www.savethestorks.com )

Para anak muda ini tidak memandang aborsi sebagai hal yang normal atau masalah pilihan, tapi mereka juga tidak memilih untuk meledakkan klinik aborsi dan membunuh dokter. Mereka memilih untk mengasihi. Dan dengan kasih, rata-rata 18 bayi diselamatkan setiap minggunya atau sekitar 900-1000 bayi per tahun.

Dengan kasih, kita tegas menyatakan, " Itu adalah dosa!"
Dengan kasih, kita juga mengatakan, " Sekalipun kau berdosa, aku mengasihi dan menerimamu"