Bener ga sih agama menghalangi kebebasan kita? Sepertinya ga sedikit orang yang berpikiran kalau agama menghalangi kebebasan pribadi seseorang, terutama di negara – negara modern yang memang menghargai kebebasan individual. Bahkan bagi sebagian orang, agama terlihat sangat menakutkan sampai-sampai mereka menjadi ateis. Memang beralasan kalo berpikir agama menghalangi kebebasan,jujur aja saya juga pernah berpikir seperti itu. Saya berasal dari gereja yang cukup ketat dan keras, terutama dalam hal pasangan hidup. Saya diajar untuk ga sembarangan pilih pacar, tapi harus dipikirin baik-baik dan didoain dan disetujui oleh pembimbing. Kedengrannya memang sangat baik, masalahnya kalo cinta sudah merasuk, wah susah deh . Boro-boro ikut aturan gereja, mertua galak aja tetep nekat datang terus.
Saya juga ngalamain hal yang sama 9 tahun yang lalu, saya suka pada seseorang dan orang itu juga suka dan kita pacaran. Masalahnya kita pacaran tanpa lewat prosedur yang bener, kaga didoain dulu n ngga minta pertimbangan dan persetujuan pembimbing dulu. Kita diminta untuk ga melanjutkan hubungan itu dulu selama beberapa bulan supaya emosi kita turun dan kemudian baru dipikirin dengan kepala dingin. Tapi, sepeeti yang saya bilang, kalo cinta udah merasuk, lawan naga gendut juga berani apalagi cuma peraturan gereja. Saya tentu saja marah dan berpikir kalo gereja terlalu mengada-ada, pembimbing saya terlalu keras dan mulai berpikir kalo saya salah masuk gereja yang ekstrim dan fanatik.
Kalo inget hal seperti itu, ga heran kalo anak-anak muda, terutama di negara modern, beranggapan kalo agama itu sama dengan pengekangan. Gimana nggga? Secara pergaulan , kebanyakan jauh lebih bebas dari disini. Banyak hal yang sangat menarik dan menggoda di luar sana dan seringkali gereja melarang itu. Pornografi,pergaulan bebas, obat dan minuman ga pernah disetujui gereja kan? Saya ngomong seperti orang yang udah tua ya? Apakah itu berarti saya ga pernah tergoda? Hei, gini gini juga saya masih muda, kepala 3 aja belum kok. Dan terkadang saya iri dengan semua kebebasan itu, bebas untuk melaukan apapun tanpa harus memikirkan apa kata gereja, tanpa harus merasa bersalah. Saya ga heran kalo kemudian ada yang menjadi ateis karena menganggap gereja menghalangi kebebasan dan memilih untuk ga mempedulikan rasa bersalah. Banyak hal di luar sana yang terlalu menarik untuk dibuang begitu saja dan masuk ke dalam kehidupan gereja yang sepertinya kering tanpa kegembiraan di balik tembok.
Apakah saya tampak membela gereja? Ngga tuh, saya juga sadar kalo gereja seringkali keterlaluan dan berlebihan dalam mengatur hidup. Sepanjang sejarah gereja, bukan sekali dua kali gereja menghalangi pemikiran –pemikiran atau teknologi baru. Teori heliosentris Galileo dan Reformasi gereja adalah salah satu contoh di mana gereja menghalangi kebebasan berpikir. Dalam usahanya untuk membuat seseorang menjadi jemaat yang lebih baik, seringkali gereja terjebak untuk merubah penampilan dan kebiasaan di luar.
Ada masa dimana di gereja saya dulu, seoang pelayan ga boleh nonton bioskop. Aturan ini sendiri entah darimana munculnya, tapi yang pasti itu ada dan beredar padahal tidak pernah ada larangan secara resmi dari penatua untuk hal itu. Sampai saat ini saya masih ga tahu pasti siapa yang memulai larangan ini walaupun alasannya sih cukup jelas. Sepertinya ada angggapan kalau seorang pelayan yang baik tidak membuang waktunya dengan menonton TV atau film yang ga berguna dan lebih memilih baca Alkitab. Anggapan ini mungkin muncul karena ada pelayan yang memang sudah dewasa secara rohani dan suka menghabiskan waktu dengan membaca Alkitab dan kemudian ditiru mentah mentah oleh orang-orang di bawahnya. Tentu saja hal yang baik kalau seseorang lebih suka baca Alkitab daripada melakukan hal lain, tapi perlu waktu untuk mencapai kedewasaan rohani seperti itu. Lagipula, hal itu tidak kemudian menjadikan kegitan yang lain di luar membaca Alkitab sebagai sesuatu yang salah. Tapi kita memang punya kecenderungan untuk meniru seseorang yang kita kagumi, sayangnya kebanyakan dari kita hanya meniru hal yang paling gampang, yaitu penampilan dan kebiasaannya. Ketika kita mengidolakan seorang penyanyi misalnya, berapa banyak yang kemudian berlatih les vokal dan berusaha menyanyi sebagus penyanyi itu? Kebanyakan langsung nyari baju atau kosmetik atau makanan yang biasa dipakai penyanyi tadi.
Bukan hal yang salah melakukan hal seperti itu, tapi kalau itu terjadi di gereja bisa repot. Kita mungkin kagum ketika melihat seorang pelayan Tuhan berdoa bagi bangsa-bangsa dan negara –negara dengan penuh perasaan. Masalahnya, perlu waktu sampai seseorang punya kasih seperti itu. Lah, mengasihi keluarga sendiri aja kadang susah apalagi mengasihi bangsa-bangsa. Tapi karena berpikir kalo semua orang Kristen harusnya seperti itu dan juga karena takut dibilang ga punya kasih, jadi saya angkat tangan dan ikut berdoa bagi bangsa – bangsa sambil berusaha mengeluarkan air mata. Serius, saya lakukan itu sebelum saya sadar kalo itu sebenernya lagi bikin sinetron di depan Tuhan. Sejak itu saya ga pernah lagi ikut-ikutan seperti itu. Suatu hari nanti mungkin saya akan punya kasih yang besar yang bukan hanya meliputi keluarga dan teman – teman dekat saya tapi juga bagi dunia, tapi sampai saat itu tiba saya ga mau bikin sinetron. Intinya, di jaman apapun dan di gereja manapun, akan selalu ada orang – orang yang lebih mengejar penampilan orang kudus daripada kualitas kekudusan itu sendiri. Mungkin bagi sebagian orang kekudusan itu berarti memakai baju kuno dan menolak teknologi, dan mungkin bagi sebagian orang lagi hal itu berarti menolak untuk berbicara selama bertahun tahun. Untuk hidup di tengah dunia sambil mengikuti 10 perintah aja udah susah, apalagi ditambah aturan –aturan kekudusan semacam itu. Ga heran banyak yang ga kuat dan memilih menghindari gereja.
Semua orang yang punya anak kecil tahu, anak itu harus dijaga baik-baik. Kalau perlu pintu dikunci dan tangga dikasih penghalang supaya anak ga main ke jalan atau naik turun tangga. Tentu saja bagi anak hal inisangat mengganggu, di luar pintu dan di bawah tangga ada dunia baru yang sangat menarik yang belum pernah dilihatnya. Tapi kalau ga dilarang,bisa – bisa gegar otak jatuh dari tangga atau ketabrak motor.
Saya ga tahu dengan orang-orang lain, tapi kalau saya secara ga sengaja tedampar di tengah hutan dan ga bisa keluar dari sana sampai saya mati, saya akan bikin rumah dan di sekeliling rumah itu akan saya bikin pagar. Namanya juga di tengah hutan, ga lucu kalau malem malem ada singa ikutan tidur di ranjang gara-gara ga ada pagar di sekeliling rumah makanya bebas masuk. Kalau di sekeliling rumah ga ada pagar,apakah saya akan merasa lebih bebas melakukan kegiatan di luar rumah? Ya ga tenanglah, takut singa yang semalam tidur di sebelah tiba-tiba nyamperin dari belakng. Tapi kalau di sekeliling rumah ada pagar, saya bebas melakukan apaun karena saya tahu saya terlindungi.
Mungkin sulit bagi sebagian orang untuk membayangkan, kok bisa ikut Tuhan malah lebih bebas dari orang yang ga ikut Tuhan? Bayangkan seperti ini, saya sangat jarang maen ke Jakarta makanya saya ga tahu jalan-jalan di sana. Kalo saya tiba-tiba ditaro di tengah kota Jakarta,apakah saya akan merasa bebas dan menari-nari? Ga lah, saya langsung panik karena ga tahu jalan. Boro-boro ngerasa bebas, kalo salah jalan gimana? Berarti saya mesti puter-puter sepanjang hari sampe nemu jalan yang bener, kalo keburu malem gimana? Tapi coba kalo saya dikasih peta dan GPS, karena saya bisa liat di GPS jalan mana yang bener, saya ga perlu buang waktu dan bisa bebas maen keliling Jakarta. Dan saat malam tiba,saya tahu harus pulang kemana.
Seperti itulah Tuhan bagi saya,saya tahu kalo Tuhan bikin larangan itu bukan karena iseng tapi buat kebaikan kita. Dan karena saya tahu Tuhan ngelindungin kita, saya bebas dari rasa takut tiba-tiba disamperin singa dari belakang. Dan karena saya tahu jalan mana yang bener, saya ga perlu buang-buang waktu sepanjang hidup buat nyari jalan mana yang bener.
Tapi kan enak kalo bisa bergaul dengan bebas dan pilih pacar siapa aja. Lagian cinta kok diatur, ga bebas baget sih. Iya,kalo milihnya bener. Kalo ngga? Seumur hidup kita terikat dan ga bisa bebas. Apalagi kalo milih pasangannya yang ngaco banget, yang suka ngobat dan punya penyakit. Bukannya bebas malah mati muda.
Tapi seperti yang saya bahas di atas, gereja juga punya andil dalam membuat anak muda menghindari gereja. Selain munculnya aturan-aturan yang ga jelas atas nama kekudusan, seringkali gereja juga punya kecenderungan yang sama dengan orangtua lainnya, ga mempercayai anak untuk mengambil keputusan sendiri. Orangtua mana pun ga ingin anaknya celaka, makanya mereka berusaha melindungi anak mereka. Masalahnya, seringkali ada orangtua yang terlalu melindungi anak sampai semua tindakan anak harus diatur oleh orangtua karena mereka takut anaknya mengambil keputusan yang salah. Ada yang pernah kirim surat ke GF! dan cerita kalo di gerejanya pasangan hidup tiap jemaat ditentukan langsung oleh pemimpinnya. Ini sih jelas terlalu berlebihan, saya bisa mengerti kalo gereja ga pengen jemaatnya salah pilih pasangan tapi kalo kemudian semuanya diatur gereja, ngapain hidup? Hal –hal seperti ini yang kemudian seringkali membuat image gereja sebagai pengekang kebebasan. Apakah itu berarti menghindari gereja saja tapi tetep ikut Tuhan? Ga lah. Saya ga pernah denger ada orang yang bisa bertumbuh dan terus setia ikut Tuhan tanpa pernah ikut komunitas gereja. Suka ga suka, gereja adalah tempat yang memberi kita makan waktu masih bayi rohani dan melatih kita untuk pelayanan waktu pemuda dan tempat melayani waktu kita dewasa.
Jadi kita harus gimana dong? Bagi saya, saya mengerti aturan bukan untuk mengekang saya tapi justru memberi ruang dimana saya bisa bergerak bebas. Saya dulu sangat menolak aturan pasangan hidup di gereja saya. Tapi sekarang sih udah ngerti kalau itu untuk kebaikan saya. Kalo saya sampe salah pilih pasangan, saya bisa terjebak seumur hidup dalam pernikahan yang ga bahagia dan itu jelas bukan kebebasan yang saya inginkan. Tapi bukan berarti saya kemudian membabi buta mengikuti semua aturan yang ada tanpa tahu alasannya. Saya percaya saya punya kebebasan memilih, dan saya bebas untuk menerima atau menolak aturan yang ada. Kalau itu sesuai firman dan alasannya masuk akal, saya terima aturan itu sebagai salah satu pagar yang menjaga kebebasan saya. Tapi kalau itu ga sesuai firman dan ga masuk akal dan orang yang mengeluarkan keputusan itu ga bisa ngejelasin kenapa keputusan itu diambil, diusir dari gereja pun saya tetep ga akan terima aturan itu.
Misalnya, ada pendapat kalo ke gereja itu harus bawa Alkitab dalam bentuk kitab, jangan bawa Alkitab dalam bentuk software di HP atau PDA. Alasannya karena orang yang bawa Alkitab di HP itu berarti malu untuk menunjukkan kekeristenannya. Buat saya, itu alasan yang ga masuk akal karena kalo menurut saya kekristenan bukan ditunjukkan dari bawa Alkitab atau ngga. Mungkin memang ada yang takut atau malu bawa Alkitab ke gereja, tapi bukan berarti semua orang sepeerti itu. Sekedar informasi, motor saya yang dulu dan yang sekarang, dua-duanya ditempeli stiker rohani yang jelas-jelas menyebut nama Yesus dan saya ga keberatan pake baju yang ada tulisan Yesusnya. Bagi saya, kalau memang bisa lebih praktis bawa Alkitab di HP,kenapa ngga? Lagipula, daripada bawa Alkitab kemana-mana cuman di hari minggu doang, mendingan bawa di HP dan kalo lagi bengong nunggu servis motor bisa dibaca. Mungkin saya salah, mungkin memang ada alasan yang lebih dalam dari aturan itu. Tapi sebelum saya menemukan alasan yang kuat, biarpun disindir atau ditegur, saya sih cuek aja. Yang pasti, saya ga mau melakukan sesuatu hanya karena disuruh dan takut ditegur atau takut dibilang ga kudus. Kalau saya menuruti suatu aturan, itu karena saya mengerti dengan jelas alasannya.