Momotaro dan Iblis Hitam

Alkisah, di suatu desa terpencil di kaki gunung, tinggallah sepasang kakek nenek yang sudah tua dan ga punya anak. Suatu hari waktu sang nenek sedang mencuci di sungai, dia menemukan buah persik yang terapung. Dia membawa pulang persik itu pulang ke rumah untuk dimakan bersama si kakek. Waktu nenek mau membelah buah persik itu jadi 2 bagian, dia menemukan seorang bayi kecil di dalam buah persik itu. Mereka membesarkan bayi itu dan memberinya nama Momotaro.

Momotaro tumbuh menjadi anak yang nakal dan seringkali dia pulang ke rumah dalam keadaan kotor dan terluka. Walaupun begitu, kakek dan nenek itu tetap merawatnya dengan baik, memandikan dan merawat lukanya. Perlakuan kakek dan nenek yang baik perlahan-lahan merubah sifat Momotaro menjadi lebih baik dan membuatnya tumbuh menjadi remaja yang bisa diandalkan.

Suatu hari Momotaro mendengar kabar kalau di desa sebelah muncul mahluk yang membuat takut para penduduk. Para penduduk menyebut mahluk itu Iblis Hitam. Momotaro yang ingin membantu penduduk desa sebelahnya memutuskan untuk pergi ke sana dan menghancurkan Iblis Hitam yang mengganggu penduduk. Walapun kakek nenek itu khawatir tapi mereka tahu kalau Momotaro harus pergi dan mencari jalan hidupnya sendiri. Jadi, mereka melepasnya pergi dan memintanya untuk kembali kapanpun juga.

Dalam perjalnan ke desa sebelah, Momotaro bertemu dengan mahluk – mahluk hutan yang ingin ikut dengannya. Mereka adalah seekor burung beo, seekor monyet dan seekor kucing berwarna putih. Mereka juga mendengar berita mengenai Iblis Hitam dan memutuskan ingin memberi pelajaran pada mahluk yang mengganggu ketentraman daerah mereka.

Ketika mereka sampai di desa sebelah, mereka menemukan para penduduk yang datang menyambut mereka dengan gembira. Mereka selama ini merasa takut pada Iblis Hitam yang kerap kali muncul dan membuat anak-anak mereka menangis dan berlari ketakutan. Berulang kali mereka mencoba menyingkirkan mahluk itu tapi selalu gagal.

Momotaro dan ketiga temannya masuk ke pedalaman gunung untuk mencari mahluk itu. Dan belum begitu jauh mereka masuk ke pedalaman, mereka menemukan mahluk itu sedang duduk di dekat sungai. Setelah diperhatikan, mereka bisa mengerti kenapa penduduk desa menyebutnya Iblis Hitam. Mahluk itu berbentuk seperti manusia tapi sekujur tubuhnya berlumuran lumpur berwarna hitam. Sebagian dari lumpur itu sudah mengeras dan sebagian lagi masih basah dan lengket dan sepertinya berbau busuk karena banyak lalat yang mengerubungi tubuhnya.

Mereka bertiga berunding bagaimana caranya menghadapi mahluk ini. Momotaro ingin berbicara dulu dengan mahluk itu untuk mencaritahu kenapa dia menakuti penduduk desa tapi ketiga temannya mencegahnya dan berkata kalau dia tidak perlu bersikap baik kepada iblis. Ketiga temannya memutuskan kalau mereka sebaiknya maju terlebih dahulu sebelum Momotaro untuk memberi pelajaran kepada mahluk itu. Sesuai giliran, burng beo akan maju terlebih dulu, kemudian monyet, kucing dan terakhir barulah Momotaro.

Burung beo terbang berputar di sekeliling mahluk itu dan berkata,” Ini salah, ini sangat salah. Tubuhmu kotor sekali dan baumu sangat memuakkan. Ini salah, ini sangat salah, tidak seharusnya seseorang bisa punya tubuh sekotor dan sebau ini. Ini salah, ini sangat salah, kau tidak seharusnya hidup dekat dengan penduduk desa. Ini salah, ini sangat salah, kau mahluk yang sangat salah”. Burung beo terus menerus berteriak tapi mahluk itu hanya diam saja. Burung beo pun terbang kembali dengan muka puas karena dia sudah mengajar mahluk itu.

Monyet, yang maju sesudah burung beo, bahkan lebih kasar lagi. Dia meloncat-loncat dan menjerit-jerit dengan marah kepada mahluk itu. Monyet mengambil kerikil, batu kecil dan buah busuk dan melemparkannya pada mahluk itu dengan marah. Mahluk itu awalnya hanya menyingkir tapi monyet terus melemparinya sampai akhirnya mahluk itu marah dan berusaha mengejar monyet. Monyet berlari kembali dengan muka puas dan berkata kalau dia sudah membuktikan kalau mahluk itu jahat dan berbahaya dan dia sudah memberinya pelajaran.

Kucing, yang maju sesudah monyet, maju dengan pelan-pelan dan melangkah dengan anggun. Dia duduk di depan mahluk itu dan sibuk membersihkan bulu putihnya dan berkata,” Kau lihat bulu putihku ini?Aku membersihkannya tiap hari sampai seputih ini. Sungguh berbeda dengan dirimu yang kotor itu kan? Kau hitam, berlapis lumpur dan bau sekali. Lihat aku, buluku putih bersih,dan manusia senang memeluk diriku. Lihat dirimu, siapa yang mau dekat dengan mahluk bau dan kotor sepertimu?”. Kucing berbaring sambil bermalas-malasan sambil membersihkan bulunya dan ketika dia melihat mahluk itu hanya diam saja, kucing pergi kembali dengan muka puas karena sudah mengajar mahluk itu mengenai kebersihan..

Momotaro yang maju terakhir, berjalan menghampiri mahluk itu dan duduk di depannya.

“Hai, namaku Momotaro, tapi kau boleh memanggilku Momo. Sepertinya kau bukan mahluk jahat walaupun penampilanmu menakutkan. Siapa kau sebenarnya?”
Mahluk itu membuka mulutnya dan berkata,

“ Aku bukan mahluk jahat, aku juga dulu penduduk desa itu. Aku lahir dan dibesarkan di desa itu dan sampai aku berusia 16 tahun, aku masih hidup bersama mereka. Waktu itu penampilanku masih sama seperti anak lain.”

“ Kenapa kau bisa jadi seperti ini? Kenapa kau bisa berlumuran lumpur?”

“ Aku anak yang nakal. Waktu kecil aku sering pulang bermain dalam kedaan kotor dan berlumpur. Tapi tidak ada orang yang membersihkanku dan aku tidak bisa membersihkan diriku sendiri. Dan entah sejak kapan, lumpur –lumpur yang menempel itu semakin banyak dan menjadi keras bahkan berbau busuk. Pelan-pelan penduduk desa mulai menjauhiku, dan tak lama kemudian mereka mencoba mengusirku”

“ Kenapa mereka ingin mengusirmu?Bukankan kau juga bagian dari mereka?”

“ Mereka takut anak-anak mereka jadi terbawa kotor dan bau kalau bergaul denganku. Dan mempunyai tubuh bau dan kotor sepeti ini berarti tidak ada orang yang mau mempekerjakanku karena semuanya takut terbawa kotor. Aku terpaksa mencuri makanan untuk hidup. Terkadang mereka memergokiku dan mengejarku dan aku terpaksa menakut-nakuti mereka supaya mereka berhenti mengejarku.”

“ Karena itu mereka membencimu?”

“ Karena itu mereka membenciku. Mereka bukan hanya takut padaku tapi mereka juga takut kalau mereka jadi kotor kalau bersentuhan dengan diriku.”

“ Hmmm, kau tahu, aku juga dulu sepertimu. Aku juga anak yang nakal dan seringkali pulang ke rumah dalam keadaan kotor dan belepotan lumpur”
Mahluk itu menatapnya dengan heran dan bertanya.

“ Tapi kau tidak kelihatan kotor sekarang. Kau terlihat bersih bahkan penduduk desa menyambutmu ketika kau datang. Mereka melihatmu bagaikan seorang pahlawan, sangat berbeda degan diriku yang dipandang sebagai iblis. Kenapa kau bisa jadi seperti ini? Bagaimana caramu membersihkan diri?

“ Aku tidak membersihkan diriku sendiri. Ada Kakek Nenek yang mengurusku sejak kecil. Setiap kali aku pulang dalam kedaan kotor, mereka sudah menanti di depan rumah dan berlari menyambutku bahkan ketika aku masih jauh. Mereka menyiapkan air mandi panas yang nyaman dan menyabuni diriku sampai bersih, lengkap dengan bedak dan minyak telon.”

“ Tapi, tidakkah mereka marah ketika kau berulang kali pulang dalam keadaan kotor? Tidakkah mereka menjadi jijik dan membuang dirimu?

“ Tidak, mereka tetap menyambutku. Tentu saja mereka menegurku dan mengajar supaya aku tidak selalu terjatuh dalam lumpur. Tapi, mereka tidak pernah menolakku sekalipun aku jatuh berulang kali. Dan sekarang aku selalu berusaha untuk pulang dalam keadaan bersih karena aku menyayangi mereka.”

“ Kau beruntung. Kau punya Kakek Nenek yang baik, aku tidak punya seorangpun yang seperti itu.”

“ Kalau begitu kenapa kau tidak ikut pulang bersamaku? Kakek dan Nenek pasti mau menerimamu. Dan aku yakin mereka juga akan menyiapkan sabun dan air mandi dan obat-obatan untuk membersihkan dirimu dan menyembuhkan lukamu”

“ Tapi, apa kau tidak takut menjadi kotor kalau bersamaku? Dan bagaimana kalau penduduk desa menghinamu?

“ Jadi kenapa? Aku juga dulunya anak nakal dan sama kotornya. Kalau sekarang aku bersih itu bukan karena usahaku sendiri tapi karena Kakek Nenek yang menyayangiku.”

Jadi, momotaro pulang bersama teman barunya diikuti dengan ketiga temannya yang bersungut-sungut dengan kesal karena mereka merasa tidak sepantasnya mahluk kotor itu berjalan bersama mereka. Mereka begitu marah dan kesal, ketika mereka sampai ke rumah Momotaro dan Kakek Nenek segera memandikan mahluk itu dan menyiapkan makan malam buat mereka, mereka menolak untuk ikut makan bersama-sama. Jadi, ketika Mootaro, teman barunya, Kakek dan Nenek makan malam bersama, burung beo,monyet dan kucing memilih kembali ke dalam hutan.


Kalau hanya sekedar berkata “ ini salah, itu salah”, burung beo juga bisa.
Kalau hanya sekedar marah-marah dan menunjuk-nunjuk dan melempar batu, monyet juga bisa.
Kalau hanya sekedar lenggak lenggok pamer putihnya kekudusan, kucing juga bisa.


PS: OK, cerita ini memang simpel dan childish karena sebenarnya ini cerita yang saya bikin untuk jadi buku anak-anak. Momotaro sendiri sebenarnya legenda rakyat Jepang dan dalam cerita sebenarnya Iblis itu bukan di desa sebelah tapi di satu pulau. Teman seperjalanan Momotaro pun sebenarnya burung, monyet dan anjing. Kenapa di cerita ini jadi kucing? Karena setelah melalui pemikiran mendalam dan pengamatan berbulan-bulan terhadap kucing tetangga yang perutnya suka diiket tali dan ditarik-tarik anak kecil ( …poor cat…), disimpulkan kalau kucing itu lebih pesolek daripada anjing.

Oh, dan mengenai akhir ceritanya, teman baru Momotaro yang tadinya Iblis Hitam sekarang bekerja sebagai penjual bakmi di desa Momotaro.

TES : Apakah Kamu Orang Kristen atau Orang Gila?

Hal paling traumatis yang pernah saya alami waktu kecil adalah dipeluk orang gila. Gimana rasanya? Ya kaya dipeluk orang gila, cobain aja sendiri gimana rasanya deh. Ceritanya terjadi waktu saya masih kelas 4 SD dan waktu itu saya lagi maen sama temen saya ke satu supermarket. Waktu pulang, ternyata di depan supermarket itu ada orang gila yang lagi duduk. Tahu darimana orang gila? Soalnya dia pakai kemeja pink dengan celana ijo dan kaos kaki item bertotol-totol kuning ? Ya nggalah, tau sendiri orang gila kaya gimana, pakean kotor,rambut gimbal dan ngomong-ngomong sendiri. Dianya sih diem aja dan ga keliatan mau ngapa-ngapain jadi kita lewat aja di depannya dengan cuek. Dan tiba-tiba, jreng..jreng,,jreng, dianya bangun dan meluk pinggang gw. Namanya anak 4 SD ya paniklah, langsung gw berusaha kabur dan lari sambil pegangan ke baju temen gw yang, nyebelin banget, juga berusaha lari ninggalin gw yang lagi dipeluk orang gila. Akhirnya sih gw berhasil lepas dan langsung lari sambil deg-degan. Walaupun kaget tapi ga kenapa-kenapa sih soalnya orang gilanya juga ga mukul ato gimana. Yang nyebelin justru sampe sekarang gw masih nyimpen kesumat sama temen gw yang berusaha kabur ninggalin gw. Ferdinand! Kalo lu kebetulan baca tulisan gw, ati-ati aja ya kalo di jalan. Ngancem? Nggalah, maksudnya di Jakarta kan lalu lintasnya padet jadi harus ati-ati di jalan gitu.

Jadi, apakah maksud cerita di atas? Apakah orang gila itu melambangkan dosa atau saya mau cerita soal pertemanan sejati? Sebenarnya sih ga ada artinya, saya cuman cerita sedikit soal dendam masa kecil ini soalnya saya pengen nyerita sedikit soal orang Kristen dan orang gila. Apakah ada bedanya antara orang Kristen dengan orang gila? Pasti jelas beda lah, kita semua tahu orang gila itu kaya gimana. Baju kotor,rambut gimbal dan suka ngomong marah nangis sendiri. Atau kalaupun dia masih punya keluarga yang ngurus tetep saja kelakuannya ngomong marah nangis sendiri dan sepertinya dia ga peduli dengan keadaan sekitar. Tentu saja beda dengan orang Kristen yang pake baju rapih dan melayani di gereja kan? Tentu saja bagi orang dunia yang tidak mengenal Yesus, kita tampak seperti orang gila yang mempercayai sesuatu yang tidak terlihat, mungkin tampak sama konyolnya dengan orang yang mengaku diculik alien. Tapi bukan ini yang ingin saya bahas karena saya ga peduli dengan pandangan orang lain. Yang ingin saya tahu, ketika saya memandang diri saya di depan cermin apakah yang saya lihat? Orang Kristen beriman ataukah orang gila yang berhalusinasi?

Kenapa seseorang menjadi gila? Selain karena masalah yang disebabkan karena alasan-alasan fisik seperti kerusakan syaraf atau otak karena berbagai hal, menurut saya seseorang menjadi gila karena dia tidak kuat menanggung trauma. Misalnya, seseorang yang kehilangan suami yang disayanginya kemudian beranggapan kalau suaminya masih hidup dan tetap mengobrol dengannya seperti biasa walaupun bagi orang lain tentu saja dia terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri. Ketika seseorang menghadapi trauma yang sangat menyakitkan atau kedaaan yang menyedihkan, umumnya kita menghadapinya dengan menangis dan marah atau mengutuk atau banyak makan untuk menghadapi kenyataan itu. Tapi bagi sebagian orang, kenyataan itu terlalu menyakitkan untuk dihadapi samapai-sampai mereka menyangkal kenyataan tersebut dan membuat dunia sendiri dimana kenyataan itu tidak pernah terjadi. Dalam dunia yang mereka buat, kenyataan yang menyakitkan itu tidak pernah terjadi dan mereka memilih untuk tetap tinggal di dalam dunia impian itu.

Dalam dunia nyata mungkin suaminya meninggal tapi dalam dunia buatannya suaminya tidak meninggal dan setiap hari dia tidak kesepian karena suaminya tetap ada di sampingnya. Masalahnya hanya mereka yang tahu dan bisa tinggal di dalam dunia buatan mereka sendiri itu. Kita sebagai orang normal yang tinggal dalam dunia nyata tentu saja melihat mereka sebagai orang aneh. Saya pernah baca di satu artikel, tapi lupa dimana, tentang seorang ahli jiwa yang mengatakan menyadarkan orang gila mungkin merupakan tindakan yang kejam karena mungkin mereka lebih bahagia hidup dalam dunia mereka yang sempurna daripada menghadapi dunia nyata yang menyakitkan. Pada dasarnya orang gila adalah seseorang yang menghindari kenyata dan lari ke dalam dunia sempurna buatan mereka sendiri dan menyangkal realita.

Dan siapa dari kita yang ga mau melakukan hal itu? Ketika kita merasa sedih, tidakkah kita terkadang berharap kalau kita bisa sepeeti burung unta yang memasukkan kepalanya ke dalam lubang gelap di tanah dan melupakan kenyataan apapun yang ada? Seandainya kita punya kekuatan untuk membuat dunia sempurna dan tinggal di dalamnya tidakkah kita akan langsung menggunakan kekuatan itu? Sayangnya dunia nyata tidak bisa dirubah dengan simsalabim abrakadabra hocuspocus dan kita terpaksa mencari cara lain untuk menghindari kenyatan. Sebagian dari kita membuat dunia sendiri dan berhalusinasi, sebagian mungkin memilih alkohol atau obat untuk melupakan realita dan sebagian lagi, anehnya, mengambil agama dan menyebutnya iman.

Ada perbedaan yang sangat tipis antara beriman dan melarikan diri seperti orang gila. Mungkin terlalu tipis sampai terkadang kita tidak menyadari jalan mana yang sedang kita ambil. Seberapa tipis? Seorang Kristen dengan semangat mengatakan kalau kematian tidak menakutkan baginya, bahwa kematian adalah hal yang menyenangkan karena dia bisa bertemu dengan Yesus. Dan dengan semangat dia mengatakan kalau dia ingin mati muda supaya bisa cepat bertemu Tuhan.Bagaikan seorang kekasih yang tidak sabar ingin segera pulang untuk bertemu kekasih hatinya yang tinggal di negeri jauh dan kerinduannya terdengar sangat romantis dan semua orang yang mendengar berkata “Awwww, so sweet”.

Tapi apa yang terlihat sebagai iman dan kerinduan mungkin hanya ilusi. Kenyataannya, orang Kristen ini tidak punya keluaga, tidak punya tujuan hidup dan tidak punya seseorang yang disayangi.Kenyataan di depan mata bukanlah kenyataan yang menyenangkan tapi kesepian yang menyakitkan. Dan ketika realita tidak menyenangkan, dia memilih untuk lari dan berharap Tuhan segera memanggilnya ke surga. Keinginannya pergi ke surga bukanlah karena kerinduan pada Tuhan, kerinduan untuk pulang ke rumah Sang Kekasih bukanlah karena dia mencintai kekasihnya tapi karena pekerjaan di kantor terlalu berat.

Tidak sulit untuk mati dan pulang ke surga, tapi tetap hidup dan menghadapi kenyataan dan menghasilkan sesuatu dalam hidup yang bisa dengan bangga kita bawa pulang ke hadapan Tuhan adalah hal yang sangat sulit. Berani mati untuk Tuhan tidak selalu berarti lebih berani dari seseorang yang memilih hidup untuk Tuhan. Seandainya orang Kristen ini dipanggil pulang ke surga, apakah dia senang karena akan menemui Tuhan ataukah lega karena akhirnya lepas dari realita yang menyakitkan? Buat saya, sikap saya meremehkan kematian dan keinginan pulang ini bukanlah iman tapi cara saya untuk berusaha lari dari realita.( Ya, saya orang Kristen dalam cerita di atas….)

Hanya karena kita lari kepada Tuhan bukan berarti itu iman. Oh, kita semua memang pada umunya baru nyari Tuhan dalam masa-masa sulit. Ga ada yang salah ketika kita menghadapi realita yang menyakitkan dan kita langsung berteriak memanggil Tuhan. Tuhan memang mengijinkan hal-hal buruk terjadi supaya kita memanggil namaNYA. Tapi ada perbedaan yang jelas antara seorang anak yang kesulitan mengerjakan PR dan kemudian memanggil ayahnya untuk membantunya mengerjakan PR itu dengan seorang anak yang juga kesulitan mengerjakan PR dan memanggil ayahnya dan kemudian lari ke pojok sambil menutup mata dan telinga dan berharap ayahnya mengerjakan semua PR itu baginya. Keduanya menghadapi PR yang sama, keduanya menghadapi kesulitan, keduanya memanggil ayahnya dan percaya kalau ayahnya bisa menyelesaikan PR itu tapi sementara anak yang pertama bernama iman, anak yang kedua melarikan diri dari realita dan masalah.

Saya selalu suka perumpamaan tentang iman yang ditulis Max Lucado, “ Iman adalah burung yang bernyanyi di saat hari masih gelap”. Iman adalah burung yang membuka matanya, mengetahui kalau di sekelilingnya masih gelap tapi tetap memilih untuk bernyanyi. Dan burung gila adalah burung yang menutup matanya, berhalusinasi kalau matahari sudah terbit dan kemudian berkicau.

Masih kurang jelas soal perbedaan antara orang Kristen dan orang gila? Ok, saya masih punya satu cerita lagi walaupun kali ini bukan tentang saya. Seorang teman pernah berkata kepada saya kalau orang Kristen sebaiknya jangan terlalu banyak nonton berita karena berita sekarang isinya cuma kejahatan kriminal dan kekejaman,bencana alam dan kesusahan dan semua berita itu berpotensi melemahkan iman kepada Tuhan. Orang Kristen sebaiknya lebih rajin baca Alkitab daripada denger berita-berita tentang dunia yang ga penting, dengan begitu kita bisa punya iman dan pengenalan yang lebih kuat tentang Tuhan.

Seorang suami punya kebiasaan yang aneh, setiap kali malam tiba dia selalu mengambil penutup mata dan menolak untuk melihat istrinya. Kenapa? Karena istrinya tidak memakai make-up dan dia menolak untuk melihat istrinya tanpa make-up. Dia cuma mebuka penutup matanya di pagi hari waktu istrinya sudah selesai mandi dan berdandan. Ketika ditanya kenapa dia bersikap seperti itu, alasannya karena dia takut dirinya tidak mencintai dirinya istrinya lagi kalau dia sampai melihat istrinya dalam keadaan tidak cantik. Supaya dia tidak meninggalkan istrinya makanya dia memakai penutup mata supaya dia tidak melihat istrinya pake daster butut, rol rambut di kepala, masker muka lengkap dengan irisan ketimun di mata dan mulut yang ileran di waktu tidur. Cinta yang murni dan sejati kan?
Yah, cerita diatas cuma pemisalan dan dalam kenyataan ga ada suami gila kaya gitu.

Atau ada? Ada banyak hal yang terjadi di dunia di sekeliling kita, ada hal baik dan ada hal buruk, bahkan sangat buruk. Tapi itu tetaplah dunia yang kita tinggali, dunia tempat Tuhan bekerja, dunia yang dibentuk dan diatur oleh Yesus. Seberapa pun mengerikan dan menjijikkan, dunia yang kita tinggali adalah dunia yang diijinkan tuhan untuk tetap eksis. Dunia orang Kristen bukankah hanya di dalam gedung gereja dimana semua orang saling sopan santun dengan yang lainnya, ketika orang sehat menengok orang sakit dan orang yang kehilangan orang yang disayanginya dikuatkan oleh pelayan gereja, ketika semua orang merayakan Natal sambil berpegangan tangan dan menerima hadiah, ketika anak-anak berlarian di sekolah minggu dalam kostum kelinci dan mencari telur yang tersembunyi.

Dunia yang kita tinggali adalah dunia yang sama dimana anak-anak kecil dijual untuk kepuasan seksual orang-orang yang seumuran dengan usia ayah bahkan kakeknya, dunia di mana ada anak – anak yang kelaparan, dunia dimana seorang suami memukuli istri dan anaknya, dimana para wanita dipajang di etalase dan diperlakukan seperti barang, dunia di mana seorang anak kecil ditelanjangi, dijebloskan ke dalam kandang anjing, difilmkan dan filmnya dijual di internet untuk orang-orang sakit jiwa, dunia dimana seorang dokter bernama Mengele bisa mengoperasi tawanan kamp konsentrasi tanpa obat bius untuk mengetahui ketahanan mereka atas rasa sakit. Semuanya terjadi di dunia di sekeliling kita dan karena alasan yang amat sangat sulit dimengerti, Tuhan mengijinkan semua itu terjadi.

Tuhan yang kita sembah di dalam gereja dan Tuhan di luar gereja yang mengijinkan semua hal itu terjadi adalah Yesus yang sama. Tapi seperti suami gila dalam cerita di atas, kita menutup mata dengan alasan kita takut kehilangan cinta kita pada Tuhan. Cinta yang murni dan sejati?

Billy Graham mempunyai seorang rekan sepelayanan di masa mudanya, keduanya melayani Tuhan dengan kesungguhan yang sama, sampai pada satu titik. Keduanya menghadapi pertanyaan yang sama, kenapa Tuhan yang penuh kasih mengijinkan terjadinya penderitaan di tengah dunia? Kenapa ada kelaparan dan penderitaan di berbagai tempat? Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih berdiam diri melihat semua itu? Billy Graham memilih untuk tetap percaya pada kebijaksanaan Tuhan sementara temannya menjadi seorang atheis.

Ketika kita melihat bagian terhitam dunia,bisakah kita meragukan Tuhan? Ya! Mungkinkah kita meninggalkan Tuhan? Ya! Apakah lebih baik kita menutup mata dan duduk di pojok? Bagi saya ngga. Saya ingin melihat semua yang terjadi yang Tuhan ijinkan, tidak peduli apakah itu terlihat baik atau tidak, sekalipun itu mungkin beresiko menjadikan saya seorang atheis.Kenapa? Karena tidak adil bagi Sang Istri kalau saya memakai penutup mata, karena yang saya berikan kepadaNYA bukanlah cinta tapi kebohongan. Tidak peduli apakah itu daster butut atau masker menyeramkan, saya ingin mengenal Sang Istri sepenuhnya.

Jadi, apakah kita orang Kristen atau orang gila?

Tergantung, apakah kita menghadapi kenyataan bersama Tuhan atau lari ke pojok dan menghindari kenyataan.