Pendekar Awan dan Angin

Uhuk..uhuk…..
Aku terbatuk-batuk oleh debu yang mengembang di hadapanku
Debu yang berasal dari hentakan sepatu – sepatu yang berderap

Mataku mencoba terfokus…
Punggung – punggung yang berlari menjauh
Dan tampak semakin jauh

Sayup- sayup terdengar teriakan mereka yang penuh semangat
Semangat untuk terus berlari sampai akhir
Tapi untuk setiap langkah kaki dan sorakan semangat, hatiku terasa semakin berat
Tatkala aku menyadari kalau jarak antara diriku dan mereka semakin melebar
Saat aku menyadari diriku tertinggal semakin jauh di belakang mereka

Aku berdiri seorang diri
Kesedihan merayapi hatiku saat aku sadar
Sadar bahwa teman-temanku bergerak jauh lebih cepat dan maju daripadaku
Sadar bahwa aku tertinggal di belakang

Plokk…
Ada tangan yang menepuk lembut bahuku
Saat aku berbalik, Dia ada disana
Pelatih Utama kami berdiri dengan setengah tersenyum

“ Kenapa kau tidak berlatih?” , tanyanya
Jlebbb…pertanyaan itu menusuk diriku dan kesedihan mengalir keluar
“ Pelatih Utama menegur diriku….”
“ Pelatih Utama menyalahkan diriku yan tertinggal jauh….”
“ Pelatih Utama merasa diriku mempermalukan timnya…..”
“ Pelatih Utama……”

“ Matras sudah disiapkan dan ketinggian tongkat sudah dinaikkan”, katanya lagi
Hehhh????
Matras? Ketinggian tongkat? Apa yang dibicarakanNYA?
Aku mendongak dan melihatNYA masih setengah tersenyum

Terheran – heran aku bertanya, “ Untuk apa? “
“ Tentu saja untuk dirimu berlatih lompat tinggi”
Lompat tinggi?
“ Tapi pelatih, bukankah seharusnya aku berlari mengejar para pelari itu ke arah yang sama?”
“ Untuk apa? Kau dilatih untuk menjadi seorang pelompat tinggi, kau tidak perlu berlari ke arah yang sama dengan mereka”

“ Kau dan mereka dilatih dan dipersiapkan untuk tujuan yang berbeda”
“ Mereka dilatih untuk berlari secepat dan sejauh mungkin, mereka dipersiapkan untuk mengejar sang angin”
“ Tapi kau, kau dilatih untuk melompat setinggi mungkin, kau dipersiapkan untuk meraih dan menyentuh sang awan”
“ Berlatihlah sesuai dengan bidang yang telah disiapkan untukmu. Berlari sampai akhir, bertanding sampai menang!”


Karena setiap dari kita dipilih dan diperlengkapi untuk tujuan yang berbeda. Mungkin teman-teman kita dipanggil untuk pelayanan yang berbeda, mungkin sebagian terlihat lebih maju dan berkilau, mungkin kita merasa pelayanan kita tertinggal dibandingkan dengan yang lain. Tapi entah seseorang menjadi pembicara yang pergi ke bangsa-bangsa atau berdoa dibalik pintu tertutup, kita semua bertanding untuk menang!


PS : judulnya kurang nyambung dan terlalu berlebihan yah ^^ ? Kalo yang suka baca komik atau nonton pelem silat hongkong pasti ketawa baca judulnya…..

Cinderela Ditangkep Pulisi !!

Berita headline hari ini : Cinderela ditangkap polisi karena menyiksa anaknya. Cinderela terbukti bersalah dan harus mendekam di penjara selama 10 tahun. Suaminya mengatakan kalau kondisi kejiwaan Cinderela memang labil. Ibu tirinya mengatakan kalau Cinderela memang anak bermasalah sejak kecil.
Kenapa ini bisa terjadi? Untuk mengetahui kenapa tragedi ini bisa terjadi, kita harus melihat kembali masa kecil Cinderela.

Cinderela kehilangan ibunya saat dia kecil, dan ayahnya yang sering bepergian memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita lain supaya ada yang mengurus anaknya. Ibu tirinya membawa 2 anak hasil pernikahannya terdahulu. Pada awalnya Cinderela senang karena mendapatkan keluarga baru dan dalam hatinya dia bertekad untuk menyenangkan hati ibu tirinya. Tapi, seperti yang kita semua tahu, ibu tiri Cinderela tidak menyayanginya dan memperlakukannya seperti pembantu.

Cinderela berusaha keras untuk bekerja keras dan menerima semua pukulan ibunya dengan harapan ibunya akan menyayanginya, tapi itu tidak pernah terjadi.
“ Ibu, kenapa kau tidak menyayangiku? Apakah kau tidak menginginkanku? “
“ Tidak! Keluarga ini akan jauh lebih baik kalau kau tidak ada. Kau hanya pengganggu yang tidak dibutuhkan. Kau harus bersyukur karena aku masih mau repot-repot menerimamu di rumah ini,” jawab ibu tirinya.
Cinderela yang malang, dia baru saja menyadari kalau dirinya tidak diinginkan dan tidak dibutuhkan.

Sementara saudara-saudara tirinya menghabiskan masa remaja mereka seperti layaknya gadis normal, Cinderela menghabiskan waktunya mengurusi cucian kotor dan mengelap debu. Cinderela sudah terbiasa dengan pekerjaan kotor, tapi yang membuatnya sedih adalah ketika teman-teman sekolah saudara tirinya datang berkunjung ke rumahnya. Cinderela mengerti arti pandangan mata teman-teman pria saudaranya yang meremehkan atau mengasihani.Dia rindu untuk berbicara dengan mereka, saling berpandangan dengan tidak sengaja, surat dan hadiah kecil yang dikirimkan lewat orang ketiga. Tapi, Cinderela sadar kalau dirinya tidak layak.
Cinderela yang malang, cinta pertamanya terbang sangat rendah dan tenggelam menghilang seiring rasa percaya dirinya.

Hari yang dinantikan seluruh kerajaan tiba, hari dimana pangeran akan memilih calon istrinya dan semua wanita di kerajaan diundang ke pesta dansa. Ibu dan saudara-saudara tirinya tidak perlu repot melarang Cinderela ke pesta, Cinderela sendiri menolak untuk pergi. Dia takut pada pandangan mata orang – orang di pesta, mata yang menyayangkan kenapa baju pesta yang bagus harus dipakai oleh orang sepertinya, mulut yang mencibir kehadirannya di pesta. Tidak, Cinderela tahu tempatnya bukan disana.
Cinderala yang malang, tidak pernah ada yang mengatakan kalau dia sangat layak untuk mengenakan baju pesta. Tidak ada yang mengatakan kepadanya, kalau Cinderela mau, dia bisa membuat pangeran bertekuk lutut dan memasangkan sepatunya. Tidak ada yang memberitahunya.

Hari pesta berlalu dan pangeran sudah menemukan calon istrinya di pesta dansa dan tidak ada tentara kerajaan yang berkeliling kota mencari pemilik sepatu kaca. Tapi, Cinderela juga akan menikah, tidak dengan pangeran tentu saja tapi dengan pemuda di ujung jalan. Pemuda itu terkenal sedikit berandalan dan tidak setia, tapi Cinderela tidak keberatan. Dia justru bersyukur karena masih ada orang yang mau menikahinya. Baginya pemuda itu sudah cukup baik baginya, yang penting ada yang mau menerimanya dan dia tidak sendirian lagi.
Cinderal yang malang, dia sendirian sejak kecil dan tidak ada peri yang duduk bersamanya, mengatakan kalau dia berharga dan dia punya masa depan yang cerah. Saat ini, Cinderela menerima siapapun yang mau duduk bersamanya, siapapun.

Seperti yang diduga, suaminya bukan suami yang baik. Tapi Cinderela bersabar dan berharap, mungkin suatu saat nanti suaminya akan lebih dewasa, mungkin kehadiran seorang anak akan membuat suaminya lebih bertanggung jawab. Cinderela tahu kalau suaminya sering selingkuh di luar, tapi selama suaminya tetap pulang ke rumah Cinderela sudah bersyukur.
Dan sekarang dia mengelus perutnya, merasakan kehadiran nyawa baru yang bertumbuh.
“ Aku akan menjadi ibu yang baik bagimu, lebih baik dari ibu tiriku. Aku akan menyayangimu dan tak akan memukulmu. Aku tak akan pernah menjadi orang seperti ibu tiriku”
Cinderela yang malang, dia membuat janji yang tak akan bisa ditepatinya.

Ketika anaknya lahir, Cinderela tersenyum bahagia dan merasa mimpinya akan segera terwujud. Sementara suaminya berdiri di pojok di balik bayangan pintu kamar sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Ketakutan akan beban tanggung jawab baru dan berakhirnya kehidupan yang bebas membuatnya takut. Dan dalam ketakutannya dia membuat keputusan, keputusan yang akan menghancurkan mimpi istrinya. Ketika Cinderela diijinkan pulang dari rumah sakit, dia mendapati rumahnya sepi. Lemari baju yang kosong separuh, tabungan yang dipecahkan dengan kasar dan gosip miring dari tetangganya memberitahunya kalau suaminya melarikan diri dengan perempuan lain. Dan dunianya runtuh dalam sekejap.

Tapi kali ini Cinderela tidak menyalahkan dirinya. Kemarahan yang selama ini terpendam sejak masa kecilnya yang selama ini menghancurkan dirinya dari dalam kali ini menuntut untuk dikeluarkan. Cinderala tidak tahu bagaimana caranya mencintai, selama ini tidak ada yang mencintainya. Tapi Cinderela tahu bagaimana menyalurkan kebencian dan amarah. Bertahun – tahun ibu dan saudara tirinya menyalurkan amarah dan kebencian mereka pada dirinya

Dan Cinderela melihat anaknya, anak yang semula diharapkan menjadi pemersatu dirinya dan suaminya. Anak yang menjadi dasar impiannya , tapi anak ini juga yang menjadi penghancur impiannya. Seandainya anak ini tidak pernah ada, anak ini anak yang tidak dibutuhkan, anak yang tidak berharga. Dan seperti dirinya dulu, anak yang tidak berhaga harus dipukul. Dan perlahan tangannya terulur……………

Kita semua bertumbuh dengan menjadikan orang – orang terdekat kita sebagai cermin. Apa yang mereka katakan mengenai diri kita menjadi bagaimana cara kita memandang diri kita. Ketika mereka mengatakan diri kita jelek, kita menganggap diri kita jelek dan sebaliknya. Cinderela – cinderela dalam kehidupan nyata tidak punya banyak peluang untuk memakai sepatu kaca, tidak ada Ibu Peri yang mengatakan kalau mereka baik dan berharga layaknya seorang putri.

Masa kecil kta sangat mempengaruhi kehidupan kita karena itu adalah masa dimana kita mulai membangun kepribadian dan identitas diri kita. Dan kita mendengarkan orangtua, teman-teman dan orang – orang terdekat kita untuk membangun identitas diri kita. Sayangya, tidak semua anak mempunyai orangtua yang baik. Sebagian dari kita tumbuh dengan masalah – masalah emosional dan kepribadian yang sulit. Bukan berarti kita meyalahkan orangtua kita atas masalah- masalah kita, orangtua pun merupakan produk bentukan dari generasi sebelum mereka. Menyalahkan ibu tiri dan saudara yang kejam tidak akan membuat Cinderela menjadi putri. Tapi mendengarkan perkataan “ Ibu Peri” menjadikannya seorang putri. Dan kita mempunyai seorang “ Ibu Peri” yang menganggap kita begitu berharga dan menjadikan kita anak-anakNYA. Yesus yang menganggap kita begitu berharga hingga rela disalib. Dan seperti Cinderela, kita punya pilihan untuk mendengarkan “ Ibu Peri” dan pergi ke pesta atau mendengarkan “ibu tiri” dan kembali ke dapur yang gelap.

PS : Artikel ini merupakan bagian ke -2 dari 3 artikel mengenai konseling. Artikel pertama berjudul “ Ayahku Frankenstein”.