Siap Jadi Janda

Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya: Gelas Berisi Cicak Dan Gelas Berdebu. Tapi ga masalah sih kalo baca ini dulu tanpa baca artikel sebelumnya, tapi supaya imbang ada baiknya baca dua-duanya deh.

Saya sendiri sudah lupa siapa yang ngajarin atau saya baca di mana prinsip ini, tapi sampai sekarang prinsip ini masih saya pegang walaupun mungkin agak kurang relevan lagi di jaman sekarang. Prinsip ini berbunyi, " Hal pertama yang harus dilakukan seorang pria pada pasangannya adalah mempersiapkannya menjadi janda".
Prinsip yang agak serem ya? Masa baru pacaran atau baru nikah udah mikirin soal janda menjanda? Mungkin kedengarannya begitu, tapi kalau punya waktu luang barang 5-10 menit sambil nunggu aer di dispenser mateng buat bikin kopi, kenapa ngga lanjutin baca sedikit lagi? Siapa tahu berguna kan? Mungkin bisa jadi bahan inspirasi lagu dangdut? "Kutunggu jandamu"?

Ibu saya pernah cerita tentang seorang temennya. Temennya ini ibu rumah tangga sejati yang kerjanya diem di rumah dan mengurus anak. Suaminya punya toko pakaian yang lumayan sukses. Mereka bukan orang super kaya, tapi juga bukan orang yang pusing minggu depan mau makan apa. Temen ibu saya ini sama sekali ga ikut campur dan ga ngerti urusan toko, taunya cuma soal anak sekolah. Ga ada yang salah, sampe satu hari suaminya meninggal mendadak karena sakit, kalo ga salah stroke ato jantung gitu deh. Dan tiba-tiba istrinya harus berhadapan dengan akar dari semua masalah, duit!

Suaminya memang punya toko, tapi dia ga ngerti supplier barang siapa, jenis baju apa yang laku, bayaran pegawai berapa, surat-surat dan pajak gimana. Akhirnya, toko itu diambil alih kakak iparnya, kakak suaminya yang juga punya toko baju tapi di tempat yang berbeda. Sebagai gantinya, temen ibu saya ini tiap bulan terima uang dapur buat hidup sehari-hari. Cukup sih, tapi tentu saja jauh di bawah penghasilan yang seharusnya dia terima kalau toko itu bisa dia kelola sendiri. Saya ga bilang ini salah, kalau toko itu dikelola sendiri mungkin malah bangkrut karena dia ga ngerti apa-apa. Cara seperti ini lebih aman buat hidupnya. Tapi agak disayangkan kan?

Cerita yang kedua bahkan lebih tragis, ini cerita tentang teman saya sendiri. Ayahnya orang kaya, usahanya lancar dan ga perlu pusing soal duit. Usaha ayahnya ini kerjasama dengan saudaranya sendiri, dan karena usaha dengan saudara sendiri yang serba kekeluargaan, ga jelas aset-aset yang ada itu atas nama siapa aja. Dan seperti cerita sebelumnya, ayahnya juga meninggal mendadak. Dan tak lama sesudah ayahnya meninggal, saudara-saudara ayahnya mengambil alih semua aset bahkan mengambil tabungan yang ada sementara ibunya cuma bisa diam dan menangis. Yang tersisa dari semua kekayaan ayahnya adalah rumah yang mereka diami dan mereka harus mulai dari awal lagi.

Dalam artikel sebelumnya saya berbicara tentang bagaimana seorang pria harus bisa menjadi tempat yang aman bagi pasangannya. Di artikel ini justru saya berpendapat jangan sampai wanita terlalu nyaman, terlalu bergantung sepenuhnya pada pria dan melupakan identitasnya sendiri. Mungkin hal ini sudah ngga relevan lagi sekarang karena kebanyakan wanita sudah punya modal pendidikan, sebagian juga bekerja dan bukan hanya diam di rumah, dan jika pasangan mereka meninggal ga sampe hopeless banget. Bagaimanapun, sambil nunggu aer kopi mateng, ada baeknya dipikirin juga. Berbeda dengan artikel sebelumnya, yang saya tulis sekarang adalah hal yang akan saya lakukan, bukan hal yang sudah saya lakukan karena saya belum punya pasangan hidup.

Kita ga akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok.
Jangankan besok, sedetik ke depan bakal ada meteor menghantam bumi atau ngga juga kita ngga tahu ( well, NASA mungkin tahu). Kita ga tahu kapan kita akan mati.
Siapa tahu kita besok tiba-tiba terpeleset kulit pisang di depan kolam hiu?
Atau pas nunggu lampu penyebrangan hijau tiba-tiba ditubruk kambing dari belakang?
Siapa tahu pas lagi ngetik artikel tiba-tiba kabel keyboardnya konslet dan kita kesetrum? (......BZZZTTTTTT...........)

" Tapi saya sudah nyiapin asuransi jiwa 5, punya tabungan di tiap cabang BPR, dan udah nyimpen segentong emas dan seperiuk berlian (5 langkah ke depan dan 7 langkah ke kiri dari tembok dapur, gali di sana). Keluarga saya pasti aman sejahtera kalau tiba-tiba terjadi sesuatu pada saya !" , mungkin begitu kata anda. 
Tapi duit bisa ilang, bisa ditipu orang, bank bisa crash,collapse dan tutup.
Ketika Revolusi Rusia jaman dinasti Romanov terjadi, banyak bangsawan yang kabur dari Rusia ke Perancis. Mereka membawa harta benda yang bisa mereka bawa, tapi mereka ga punya keahlian praktis yang bisa dipake untuk cari uang. Mereka memang bangsawan terpelajar, tapi yang mereka pelajari ga banyak berguna untuk nyari uang. Harta dijual sedikit demi sedikit, dan ketika harta yang dibawa habis, putri bangsawan pun terpaksa turun ke jalan jual diri.

Tentu saja, kalau bisa sih kita semua pengen mati tua pas anak cucu udah mandiri. Kalau bisa kita semua ingin seperti Gordon dan Norma Yeager ( cerita lengkapnya baca di artikel Resep Iga Bakar). Tapi ya itu, kalau bisa.....
Kalau seandainya detik ini tiba-tiba keyboard yang kita pakai konslet (...bzztttt...), siapkah pasangan kita jadi janda? Apakah aset-aset yang ditinggalkan sudah atas nama suami? Apa pasangan kita mengerti cara kerja bisnis yang kita jalankan?Apa dia punya keahlian yang bisa dipakai untuk cari uang? Apa dia punya teman-teman yang bisa mensupport dia? Apakah pasangan kita adalah pribadi yang berdiri sendiri dengan potensi dan visinya sendiri atau hanya bayangan dari suaminya ?

Ya, saya mengerti kalau ada pria yang keberatan istrinya bekerja atau punya kesibukan lain selain mengurus rumah. Men have little annoying thing called pride. "Saya masih sanggup kerja cari duit untuk keluarga, ga perlu kamu juga harus ikut-ikutan kerja!"

Ya, saya mengeti kalau ada pria yang kuatir kalau istri mereka punya pekerjaan lain justru malah akan membuat keluarga terbengkalai. Sapa tahu malah nemu TTM di tempat kerja. Sapa tahu gajinya lebih tinggi dan jadi meremehkan suami.

Ya, saya juga tahu kalau terkadang ada mertua kolot yang ga suka liat menantu perempuannya kerja karena di jamannya perempuan yang terhormat itu diam di rumah dan mengurus suami.

Saya ga punya niat mendebat hal itu, beberapa dari ketakutan itu memang beralasan kok. Lagipula, saya sendiri belum menikah, belum mengalami, siapa tahu pikiran  saya nanti berubah lagi, jadi saya ga punya niat untuk menghakimi pemikiran-pemikiran itu. Tugas saya cuma satu, membuat pasangan saya aman. Dan kalau terjadi sesuatu, apakah dia punya komunitas yang menjaga dia untuk tidak kehilangan imannya? Apakah dia punya keahlian atau talenta yang dia kembangkan? Apakah dia sudah menemukan visi yang dari Tuhan khusus untuk dirinya sendiri? Apakah dia akan aman sendirian? Siapkah dia jadi janda?

Ga perlu nunggu menikah kok untuk mulai mikir soal ini. Waktu pacaran pun kenapa gak mulai memikirkan hal ini ? Bantu pasangan kita untuk menemukan identitasnya sendiri, talentanya, keahliannya, visinya, kekuatannya. Saya percaya keluarga adalah hal terpenting, bukan hanya wanita tapi juga bagi pria. Prioritas pertama kita seharusnya keluarga, bukan pekerjaan dan pelayanan. Pria harus bekerja tanpa melupakan keluarga, wanita pun punya hak untuk mengembangkan potensinya sendiri tapi juga tanpa melupakan keluarga.

Kalau pasangan kita bisa bikin kue kering dan bukan kue kerak, kenapa ngga didorong bikin usaha kue kecil-kecilan?
Kalau pasangan kita hobi bawa golok kemana-mana, dukung dia jadi atlet kendo.
Kalau pasangan kita mukanya ramah keibuan tapi hanya dalam hitungan waktu yang diperlukan prosesor quad core untuk menghitung 2+2 tiba-tiba bisa jadi galak, kenapa gak jadi guru TK ?
Dan kalau pasangan kita tertarik dengan magnetism, kenapa gak didukung? Sapa tahu bisa menang Nobel?

Dan itu yang dilakukan Pierre ketika dia bertemu istrinya, Marie Sklodowska. Keduanya bertemu karena mereka punya ketertarikan yang sama pada sifat magnet dari besi. Setelah menikah, Pierre dan marie menjadi pasangan ilmuwan yang tangguh. Mereka berdua mempunya hobi dan ketertarikan yang sama pada bidang fisika. Bersama-sama mereka meneliti sifat radiasi dari uranium dan memenangkan hadiah Nobel untuk fisika di tahun 1903.

Tahun 1906 Pierre meninggal dalam kecelakaan dan membuat Marie merasa sangat kehilangan. Tapi Marie bukan janda yang tidak berdaya. Dia mengambil alih laboratorium suaminya dan di tahun 1911 memenangkan Nobel-nya yang kedua, kali ini di bidang kimia.

Marie Curie, begitu dia dikenal ( Curie nama keluarga suaminya, Pierre ) adalah wanita pertama yang memenangkan Nobel sampai 2 kali dan keduanya di bidang yang berbeda dan wanita pertama yang menjadi Professor di University of Paris. Anak perempuan pertamanya, Irene, di kemudian hari juga memenangkan hadiah Nobel di bidang kimia. Sampai saat ini, keluarga Curie menjadi keluarga yang mempunyai penghargaan Nobel terbanyak.

Keberhasilan Marie Curie bukannya tanpa halangan. Anak keduanya Eve, yang lahir 2 tahun sebelum kematian Pierre, merasa kurangnya perhatian dari ibunya semasa dia kecil karena kesibukan ibunya. Tapi, di kemudian hari hubungan Eve dan Marie semakin erat. Sampai kematian ibunya di tahun 1934, Eve dan kakak perempuanya Irene, merawat ibunya dengan penuh kasih. Sesudah Marie meninggal, Eve menulis buku biografi tentang ibunya dan segera menjadi best seller. Irene meneruskan karir ibunya sebagai ilmuwan, Eve mengejar karir di bidang jurnalistik dan humanitarian di UNICEF.

Bersama suami, menang Nobel. Ditinggal suami, juga tetep menang Nobel. Amazing, right?