Darah di kapaknya terlihat tak nyata, cairan berwarna merah kental yang menetes perlahan dari kapaknya terlihat seperti air. Tapi sosok yang tergeletak di depannya sangatlah nyata, sosok yang bersimbah darah dan perlahan mendingin.
Raskolnikov termenung, rencana yang disusunnya berhasil. Akhirnya sampah dunia, Alyona Ivanovna, si tukang gadai kikir itu akhirnya tewas. Dunia seharusnya menjadi lebih baik dan uang milik Ivanovna bisa digunakannya untuk kebaikan. Paling tidak,itulah rencananya semula...
Orang yang tidak berguna dan merugikan dunia sebaiknya dibunuh saja demi kebaikan dunia ini. Dan Ivanovna memenuhi deskripsi rencananya. Sebagai orang yang kikir dan dibenci, dunia akan lebih senang jika Ivanovna mati. Dan uang yang dikumpulkannya bisa digunakan untuk kebaikan.
Tapi, Raskolnikov tidak tenang, rasa bersalahnya mengejarnya terus dan membuatnya ingin mengakui kejahatannya, sekalipun dirinya sama sekali tidak dicurigai polisi dan dia bisa bebas.
Cerita di atas adalah cerita dari novel Rusia abad 19, Crime And Punishment karangan Fyodor Dostoyevsky yang menceritakan seorang pemuda Rusia yang membunuh seorang tukang gadai karena pikirannya yang rasional beranggapan kalau wanita itu lebih baik mati. Tapi rasa bersalahnya menghantui hidupnya terus menerus, sampai akhirnya dengan dorongan dan dukungan Sonya, seorang wanita yang terpaksa menjadi pelacur tapi masih menjadi seorang Kristen, Raskolnikov akhirnya mengakui perbuatannya ke polisi dan dihukum di Siberia.
( cerita di atas saya tulis dengan kata-kata sendiri dan bukan terjemahan langsung dari bukunya)
Tentu saja, cerita di atas hanyalah novel klasik belaka dan pastinya tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Lagipula, mana ada orang bodoh yang dengan sukarela masuk penjara hanya karena tidak kuat mengahadapi rasa bersalah. Atau ada?
Polisi-polisi di kantor polisi kota Phoenix, Arizona, sangat terkejut dan terheran – heran ketika seorang pria paruh baya masuk ke kantor mereka dan mengakui pembunuhan yang dilakukannya 20 tahun yang lalu. Tidak ada petunjuk yang mengarah ke pria itu dan polisi sendiri sudah memasukkan kasus pembunuhan itu ke dalam kategori “cold case”, kasus yang tidak terselesaikan karena kurangnya petunjuk. Seandainya pria itu tidak mengakui perbuatannya, kasus itu tidak akan pernah terselesaikan dan pria itu akan tetap bebas.
Tapi, seperti Raskolnikov, Kenneth Jackson, tidak pernah bebas. 20 tahun lalu dia membunuh tetangganya, seorang kakek berumur 78 tahun, karena Kenneth membutuhkan uang untuk kecanduan obat-obatannya. Kenneth kemudian melarikan diri ke California, membangun hidupnya dari nol lagi. Mendapat pekerjaan, sembuh dari kecanduan dan mejalani hidup yang baik. Tapi, rasa bersalah itu terus membuntuti sampai akhirnya dia menyerahkan diri ke polisi. Sekalipun tahu bahwa hukuman untuk pembunuhan dan perampokan yang dilakukannya berarti hukuman mati atau seumur hidup di penjara, tampaknya bagi Kenneth hidup dengan rasa bersalah lebih menyedihkan.
Orang bodoh? Mungkin sudah pikun karena usia yang setengah baya? Paranoid? Mungkin.....
Seandainya kita adalah Kenneth,kebanyakan dari kita akan memilih bersembunyi daripada bertanggung jawab.
Rasa bersalah? Tapi aku tidak bersalah, aku membunuhnya karena kecanduan obat...itu bukan salahku..
Hukuman? Aku sudah hidup dengan baik selama 20 tahun ini, aku sudah menebus kesalahanku
Rasionalisasi? Ah, korbannya juga sudah tua, seandainya tidak kubunuh pun, paling dia hanya hidup 2-3 tahun lagi.
Oh, kita punya banyak alasan untuk menyapu rasa bersalah kita ke bawah karpet, menutupinya dengan perabot mahal dan patung indah. Atau, kalau kita cukup pintar, kita bisa mengubah rasa bersalah itu menjadi piala kebanggaan yang kita taruh dalam kotak kaca dan dipamerkan bagi setiap tamu yang datang.
Ya, sebagian orang menemukan cara untuk membunuh tanpa merasa bersalah!
Caranya? Mudah....jadikan pembunuhan itu sebagai perbuatan mulia! Perbuatan baik yang membantu membuat dunia ini lebih baik.Seperti Raskolnikov, kita merasionalisasi dosa yang kita lakukan dengan menyebutnya sebagai perbuatan baik yang membuat dunia menjadi lebih indah. Itu bukan hal yang sulit kok, umumnya kita tidak mau menjadi tokoh jahat, kita semua ingin menjadi pahlawan kebenaran. Yang kita perlukan hanyalah sedikit logika dan rasionalisasi untuk menutupi dosa kita.
Dan mungkin tidak ada yang lebih baik dalam seni “mempercantik dosa” selain Hitler. Bagi Hitler, pembunuhan orang-orang yang cacat, orang Gypsy dan Yahudi dilakukannya demi kebakan dunia ini. Itu bukanlah pembunuhan, tapi pembersihan dunia dari unsur-unsur yang jelek dan merugikan. Orang-orang cacat bukanlah korban di mata Hitler, tapi sampah genetis yang harus dimusnahkan supaya tidak mengotori umat manusia. Tehnik pertama “mempercantik dosa” ? Jadikan korban dosa kita sebagai pihak yang jahat. Itu tidak sulit, lagipula kebanyakan dari kita terbiasa untuk hanya melihat sisi jelek dari seseorang. Tentu saja, ketika kita menempatkan korban dari dosa kita sebagai pihak yang jahat, kita akan menjadi pihak yang benar dan apapun yang kita lakukan untuk membersihkan “kejahatan” adalah sah dan bukan dosa bahkan perbuatan mulia.
Dan jutaan orang di Eropa meninggal karena seorang Hitler, belum termasuk jutaan lainnya yang meninggal akibat langsung maupun tidak langsung Perang Dunia 2 yang dikobarkannya.
Walaupun saya memakai tema pembunuhan dalam cerita ini, tapi sebenarnya semua dosa bisa kita percantik dengan rasionalisasi menjadi piala mulia, dan seringkali tanpa kita sadari. Mengakui dosa sama dengan mengakui kita adalah orang jahat dan salah, dan tidak ada dari kita yang suka melakukan hal itu ( kecuali mungkin orang-orang yang punya kecenderungan depresi dan menyalahkan diri sendiri). Dan kita merangkai berbagai alasan untuk meringankan, menghilangkan bahkan mempercantik dosa kita.
“ Ah, itu kan cuma dosa kecil, dianya juga ga rugi apa-apa ”
“ Tapi, saya cerita-cerita lagi ke orang lain bukan untuk ngegosip. Saya justru ingin membantu dengan mencari tahu pendapat orang-orang lain mengenai masalahnya ”
“ Itu bukan selingkuh, hanya kesenangan semalam. Itu kan diperlukan kalau kehidupan pernikahan membosankan “
“ Ah, perusahaan saya sendiri juga suka menipu pajak, saya ambil uangnya sedikit anggap saja karma dan hukuman untuk mereka “
“ Apa boleh buat, saya terpaksa menyuap polisi karena saya terburu-buru harus ke rumah sakit untuk menjaga mama saya “ ( Ini alasan saya dulu waktu nyuap polisi ^^ )
“ Kalau dia tidak kita bunuh, dia akan menyesatkan lebih banyak orang “
“ Bagus kan dia saya perkosa? Dia jadi bisa terkenal masuk TV” ( alasan paling konyol yang pernah saya baca )
Otak kita punya kemampuan untuk mebuat berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakan kita. Dan kita sendiri punya keinginan untuk menghindari menghadapi kesalahan kita, bagi sebagian orang keinginan menghindar itu bahkan begitu besar sampai mereka mau mempercayai alasan paling konyol atau tidak masuk akal sekalipun.
Tapi dosa tetaplah dosa, sebagus apapun kita hias dengan kata-kata bijak, sekalipun kita terpaksa melakukan hal itu, sekalipun kita melakukan ( menurut pandangan kita) untuk kebaikan, dosa tetaplah dosa.
Jangan kubur rasa bersalah dan taruh nisan kata-kata bijak atau patung penghargaan di atasnya.
Jangan sembunyikan pelanggaran ( Amsal 28:13)
Dan berhati-hatilah jangan sampai kita ditipu pikiran kita sendiri, ujilah diri kita setiap waktu.
Siberia itu dingin, penjara itu ga enak, tapi hidup dengan menipu diri bukanlah hidup.